Dua orang duduk di rerumputan dalam jarak yang memungkinkan mereka berbincang-bincang dengan latar suara aliran sungai didepan mereka. Yang satu seorang perempuan muda, dan yang lainnya seorang lelaki tua.
Lelaki tua itu pedagang yang beristirahat sebelum akan pulang, sedangkan perempuan muda itu tidak terlalu jelas sebabnya dan bagaimana ia sampai dapat berada di tempat itu sore ini. Dari penampilannya, tebakan terbaik orang-orang yang melihatnya adalah ia seorang pengembara, dan itu tidak sepenuhnya salah.
Langit dipelupuk timur berangsur gelap, dan jingga mulai menjalar dari barat. Sang perempuan muda semakin banyak menghela nafas. Lelaki tua yang lelah sebentar lagi akan pulang, namun ia memutuskan untuk mengajak perempuan ini bicara dahulu sejenak. Ia merasa banyak yang perempuan itu simpan dibenak. Laki-laki tua pernah mengenal seseorang di masa mudanya yang seperti itu; menyimpan semuanya sendiri hingga memenuhi rongga dada dan sulit bernafas. Ia ingin membantu perempuan itu mengurai sedikit makna yang menyesaki pikirannya.
“Tidak pernah berhenti ya, sungai ini mengalir. Walaupun mungkin sudah ribuan tahun” lelaki tua membuka percakapan. Lalu terbatuk beberapa kali. Kesehatannya tidak terlalu baik rupanya.
Perempuan muda menghela nafas sekali lagi. Lalu mengangguk. “kemana sungai ini mengalir?”
“Laut Yare, lalu ke samudra yang luas sekali. Tidak pernah berubah. Selalu begitu”
“Begitu alami…”
“Ya, Laut Yare adalah rumah bagi aliran sungai ini. Tentu saja alirannya kesana berlangsung alami”
“rumah…”
“Iya, tempatnya pulang berakhir disana. Kau pun tentu punya tempat seperti itu… Di Blackwoods misalnya”
Perempuan muda tersenyum, menatap wajah lelaki tua yang dihiasi kerut-kerut yang dipahat waktu disana. Sesuatu yang dulu sangat ditakutkan perempuan itu, ketakutan itu disesalinya saat ini.
“Ada. Namun, jalanku kesana tak pernah terasa alami seperti aliran sungai ini. Jalan itu panjang, dan sulit. Dan.. bukan Blackwoods”
“mungkin… yang kau tuju itu… bukan rumahmu yang sesungguhnya” suara lelaki tua bergetar.
Perempuan muda itu tersenyum lagi, dan menggeleng kecil. “tidak ada rumah yang lain lagi, hanya itu tempatku pulang. Aku pernah berpikir begitu juga. Tapi…, ternyata apa yang menjadikan sebuah tempat itu rumah bukanlah jarak tempuh dan derajat kesulitan jalan menuju kesana.”
Lelaki tua terbatuk beberapa kali lalu butiran air mata mulai membasahi wajah letihnya. “lalu apa?” Ia menatap perempuan muda itu, kerinduan yang dibendungnya berpuluh-puluh tahun bagaikan merembes keluar lewat tatapan dan air matanya.
“Pulang adalah menuju ketempat aku merasa tak perlu menahan diri dari lelah, marah, dan sedih. Rumah adalah tempat dimana hati akan selalu tersusun lagi bahkan setelah hancur berantakan. Kesulitan kesana bukan sesuatu yang membuatku berhenti berusaha ditengah.”
Perempuan itu pun mulai menangis, kerinduan yang sama besarnya tercurah keluar saat ia menatap lelaki tua itu.
“Sudah berapa lama kau mencoba untuk pulang? Sudah berapa jauh kau berjalan?” Tanya lelaki tua, masih dengan air mata. Awalnya ia ingin membantu mengurai benak lawan bicaranya ini. Namun kini benaknyalah yang diuraikan.
“Tidak ingat, 20, 30, mungkin 40 tahun. Aku tidak hanya berjalan menuju kesana, aku juga berlayar dan mendaki. Banyak yang sudah kulihat diperjalanan. Dan aku masih terus dijalan pulang”
“Waktuku sudah akan habis…. Aku sudah tua, sebentar lagi mati, bisa jadi besok, atau bahkan satu menit lagi” lelaki itu terbatuk lagi.
“Ya.., itulah yang akan kucari selanjutnya. Kematian. Itu bisa mengantarku kerumah” Perempuan itu mendekat, tangannya menjangkau wajah pria tua. Ia mengusap airmata yang semakin deras mengalir dari mata tua itu.“Karena rumah ku.. adalah disisimu”
Setelah kalimat terakhir, perempuan muda itu memudar, lalu hilang bagai ditiup angin begitu saja.
Lelaki tua itu, masih dalam air mata yang jatuh satu demi satu, membayangkan kediamannya, istrinya yang baik, dan anak-anak laki-lakinya yang cerdas dan tangguh, dan anak-anak perempuannya yang pandai dan anggun. Karir militernya yang cemerlang, hingga ia dapat pensiun lalu mulai berdagang hanya untuk memberi orang lain pekerjaan, karena ia tidak kekurangan harta. Betapapun ia perpikir bahwa segalanya sempurna, jauh di dalam lubuk hati-nya yang terdalam dan semakin dalam karena selama ini ia kubur didasar tergelap, hanya satu tempat yang ia ingat pernah merasa disana tak perlu menahan diri, dan memikirkan apapun. Karena ia tau seremuk apapun hatinya, akan kembali seperti semula ditempat itu.
Perempuan muda itu memang lebih muda darinya, namun hanya 2 tahun. Dan ia tau, hanya disisi penyihir abadi itulah tempat yang sepenuh hati diakuinya sebagai rumah.
Ia merasa rindu yang teramat sangat, pada rumahnya. Sesungguhnya selalu begitu, namun tak ada satu orang pun yang tau.
Kini, Ia tak sabar lagi untuk pulang, selamanya.
bandung, disebuah kamar, sedang akan berdoa untuk seseorang